Sukses

Kontroversi Hukuman Kebiri Kimia, Ini Komentar IDI dan Ahli Urologi

Hukuman kebiri kimia mengundang berbagai komentar publik.

Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu terakhir hukuman kebiri kimia yang ditujukan kepada terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak ramai dibicarakan. Hukum kebiri kimia mulai naik ke publik setelah pemberitaan mengenai putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur memberikan pidana tambahan kebiri kimia kepada Aris.

Aris sendiri dijatuhi hukuman kebiri kimia karena menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap 9 anak di bawah umur di Mojokerto, Jawa Timur. Tak hanya mendapat hukuman kebiri kimia saja, ia juga dijatuhi vonis 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsider enam bulan penjara. Hukuman tambahan yang diterima oleh Aris ini nantinya akan menjadi hukuman kebiri kimia pertama yang dilakukan di Indonesia.

Vonis yang diterima oleh Aris tertuang pada putusan PN Mojokerto Nomor 69/Pid.sus/2019.Mjk tanggal 2 Mei 2019. Ia melanggar Pasal 76 D Juncto Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pro dan kontra mengenai hukuman kebiri kimia ini pun semakin menyeruak ke publik. Mulai dari melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) hingga belum tentu menimbulkan efek jera bagi pelaku lainnya. Meski begitu dengan adanya hukum kebiri kimia ini dinilai sebagai upaya perlindungan anak dari pelaku kekerasana seksual lainnya.

Adanya hukuman kebiri kimia ini tentu saja mengundang berbagai pihak untuk berkomentar. Mulai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hingga Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). Hal ini dikerenakan hukuman kebiri kimia akan memberikan efek bagi pelaku.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

IDI Tolak Jadi Eksekutor

Hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan kepada terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berkomentar. IDI sendiri menolak untuk menjadi eksekutor dari hukuman kebiri kimia seperti dalam putusan Majelis Hakim.

IDI menolak mejadi eksekutor karena menghukum seseorang dengan kebiri kimia dinilai bertentangan dengan sumpah, etika dan disiplin kedokteran yang berlaku.

"Penjahat saja yang sudah jelas-jelas ditangkap polisi ya kita obati. Tidak kita bedakan dia penjahat atau tidak penjahat. Katakanlah luka tembak atau dipukuli itu kita tetap melakukan yang sama karena sifat profesi ini seperti itu. Jadi Etik di profesi kita seperti itu," ujar dr.Poedjo Hartono selaku Ketua Majelis Pengembangan PB IDI saat ditemui di Surabaya.

Meski IDI menolak untuk menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia,akan tetapi IDI tetap mendukung pelaku kekerasan seksual pada anak mendapatkan hukuman seberat-beratnya.

3 dari 3 halaman

Akan Ada Efek Tapi Tak Mengancam Jiwa

Bukan hanya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saja yang memberi komentar terkait dengan hukuman kebiri kimia. Akan tetapi Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) juga memberikan pendapatnya. Menurut Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), Nur Rasyid ia mengatakan jika hukuman kebiri kimia akan memberikan efek menghentikan sementara produksi hormon testoteron yang dapat menurunkan libido atau aktivitas seksual.

Menurut Rasyid, obat yang digunakan untuk hukuman kebiri kimia tersebut pun seperti yang biasa dipakai oleh penderita kanker prostat. Akan tetapi jangka waktu yang diberikan lebih lama.

Ia juga menambahkan bila pada pengobatan penderita kanker prostat kebiri kimia yang diberikan hanya selama beberapa bulan. Setelah itu, ada kemungkinan jika produksi testosteron bisa kembali seperti semula jika kebiri kimia dihentikan.

Akan tetapi terkait dengan hukuman kebiri kimia yang bila dilakukan selama dua tahun, tentu saja efek yang dihasilkan akan bertambah seperti berturunnya aktivitas seksual. Namun, menurutnya hal tersebut tidak membahayakan.

"Badannya akan seperti lemas, tetapi tidak mengancam jiwa," ujar Rasyid pada Rabu (28/8/2019) saat dihubungi oleh Liputan6.com

Ia juga cukup mendukung dan menyetujui jika ada hukuman kebiri kimia bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak seperti yang terjadi baru-baru ini di Mojokerto, Jawa Timur.

"Saya pada sisi yang pro karena (pelaku-red) sudah termasuk predator. Ia berkeliling kampung mencari mangsa jadi bukan ide impulsif, kalau dia dilepas maka akan mencari mangsa lagi," lanjut Rasyid.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.