Sukses

Tak Bisa Ikut SEA Games 2021, Ini 6 Potret Sutjiati Narendra saat Juara Berbagai Kompetisi

Sutjiati Narendra ungkapkan rasa kecewa usai tak diberangkatkan ke SEA Games 2021.

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini nama atlet senam ritmik Indonesia, Sutjiati Narendra sedang menjadi pusat perhatian. Sutjiati menuliskan surat terbuka setelah ia dipastikan tidak diberangkatkan ke SEA Games 2021 di Hanoi, Vietnam. Kementerian Pemuda Olahrahga (Kemenpora) penuh pertimbangkan dalam memberangkatkan atlet sehingga hanya ada 32 cabang olahraga ke SEA Games 2021 yang dinilai berpotensi meraih medali. 

Keputusan Kemenpora hanya berangkatkan atlet yang berpotensi meraih medali ini membuat ada 18 cabang olahraga yang tak masuk prioritas Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) untuk berlaga di SEA Games 2021. Salah satu cabor yang tak masuk DBON adalah senam ritmik yang menjadi cabor yang digeluti oleh Sutjiati Narendra.

Sutjiati Narendra merasa sangat kecewa karena tak bisa ikut serta dalam SEA Games 2021. Atlet yang sukses raih dua medali emas di PON Papua 2020 ini menuliskan surat terbuka. Surat terbuka dari Sutjiati secara garus besar mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan rekonstruksi besar-besaran dalam sistem organisasi olahraganya. 

Sutjiati Narendra, dulunya memiliki berkewarganegaraan ganda yang akhirnya memilih menjadi WNI. Alasan menjadi WNI karena ia ingin memenuhi permintaan pemerintah untuk pulang dan berkontribusi membangun Tanah Air. Tak heran, jika Sutjiati merasa sangat kecewa usai gagal berlaga di SEA Games 2021.

Berikut Liputan6.com rangkum dari Instagram @sutji.ritma, potret Sutjiati Narendra saat juara di banyak kompetisi serta dilampirkan isi surat terbuka untuk pemerintah, Selasa (19/4/2022).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 8 halaman

Isi Surat Terbuka Sutjiati Narendra

Nama saya Sutjiati Narendra. Saya berusia 18 tahun dan atlet pesenam ritmik di Tim Nasional Indonesia. Saya tinggal di Indonesia sejak 2018 dan pindah dari Amerika ke Lampung karena permintaan Pak Jokowi agar anak-anak muda yang memiliki kewarganegaraan ganda pulang untuk membangun bangsa. Saya pindah ke Indonesia untuk melalukan hal itu, dan salah satu cara saya berkontribusi adalah melalui prestasi olahraga. 

Saya lahir di New York City dari ibu Amerika dan ayah saya Indonesia. Saya memulai senam ritmik pada usia delapan tahun, pada usia sebelas tahun, saya terpilih untuk bergabung dengan Pasukan Elite Amerika Serikat, melalui seleksi ketat dari ratusan pesenam yang mempunyai potensi menjanjikan yang pada akhirnya dibina di Pusat Pelatihan Olimpiade AS beberapa kali dalam setahun. Sejak usia muda saya sudah diwajibkan menghadapi rintangan apa pun yang diperlukan untuk membangun seorang atlet elite. Namun, kami sebagai atlet elite didukung dengan fasilitas kelas dunia, akses ke peralatan berkualitas tinggi, dokter olahraga, terapis fisik dan psikolog; oleh Komite Senam USA (USA Gymnastics) untuk semua atletnya. 

Selain itu saya memiliki kesempatan untuk bekerja dengan juri, pelatih, dan mantan atlet Olimpiade yang legendaris. Pada 2018, saya dipilih oleh USA Gymnastics untuk mewakili Tim Nasional Junior AS di kompetisi internasional, tetapi begitu saya memperoleh kewarganegaraan Indonesia pada tahun yang sama, keluarga saya langsung pindah ke Lampung, Sumatra, sehingga saya bisa berlatih di sana bersama pelatih saya yang luar biasa, Bu Yuliyanti dan Bu Rinawati. 

Pelatih saya telah melakukan yang terbaik untuk membangun saya sebagai seorang atlet dan memberi saya persiapan yang diperlukan untuk bersaing di tingkat nasional dan internasional. Namun, dalam proses inilah kami mulai mengalami kesulitan. Di Negara Indonesia tercinta ini, kita para atlet tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk bersaing di tingkat internasional dan kemudian tertahan untuk dikirim ke luar negeri karena dikatakan kami belum cukup berprestasi. Dikombinasikan dengan masalah pendanaan, kurangnya struktur organisasi yang efisien, dan minimnya perencanaan yang efektif. Oleh karena itu, kita memiliki banyak atlet di Indonesia yang telah menjadi korban sistem yang tidak maksimal ini. 

Sebagai contoh, ketika saya mewakili Indonesia di Kejuaraan Dunia Junior pertama di Moskow, Rusia pada 2019, saya belum pernah bertanding dalam kompetisi dengan jumlah lengkap pada bulan-bulan sebelumnya. Dalam senam ritmik, kami bersaing dengan empat alat di setiap kompetisi.

Saya hanya berkompetisi dengan satu alat di satu kompetisi dan saya juga tidak pernah dibina di pusat pelatihan mana pun sebelum Kejuaraan Dunia tersebut. Dengan persiapan yang kurang matang, bagaimana saya bisa membawa pulang medali dari kompetisi besar seperti itu? Lalu, ketika saya meraih dua emas dan satu perak di PON XX Papua tahun lalu, saya diberi tahu saya akan didukung untuk mempersiapkan pertandingan di ajang Olimpiade. 

Tetapi setelah itu, momentum kegembiraan dan semangat mulai mereda dan kami tidak lagi diperhatikan sejak itu. Pelatih saya dan saya bahkan disuruh mencari sponsor untuk kami sendiri. Saya terus berlatih enam hari seminggu, pagi hingga malam tanpa tujuan yang jelas. Setelah PON XX Papua, saya langsung mempersiapkan diri untuk Kejuaraan SEA Games, tetapi dua bulan sebelum kejuaraan ini, saya diberi tahu bahwa saya tidak diberangkatkan, meskipun saya dan pelatih saya siap membayar dari kantong kami sendiri. 

Yang saya bisa simpulkan dari pengalaman hidup dan berkompetisi di dua negara yang berbeda, Amerika Serikat dan Indonesia, adalah bahwa Indonesia membutuhkan rekonstruksi besar-besaran dalam sistem organisasi olahraganya. Jika kita ingin mencetak atlet elite sekelas internasional, program jangka panjang harus jadi priorotas. Pesaing saya di seluruh dunia bersaing minimal 15 kompetisi setiap tahun. Di Indonesia, kita hanya memiliki kompetisi nasional (Kejurnas) yang bahkan kadang tidak berlangsung setiap tahun. Selain itu, dari pengalaman saya sebelumnya, anggaran untuk kompetisi tidak dikeluarkan sampai menit-menit terakhir, dan kadang-kadang kita bahkan harus membayar terlebih dahulu dan diganti setelahnya. 

3 dari 8 halaman

1. Sedari kecil, Sutjiati Narendra sudah menekuni senam ritmik dan jadi atlet yang berprestasi.

4 dari 8 halaman

2. Sebelum menjadi WNI, Sutjiati Narendra menghabiskan masa-masa remajanya dengan jadi atlet senam ritmik di Amerika Serikat.

5 dari 8 halaman

3. Irina Cup 2018 di Polandia menjadi saksi hebatnya Sutjiati Narendra dalam berprestasi.

6 dari 8 halaman

4. Sutjiati Narendra juga pernah berhasil membawa tim Lampung lolos ke PON 2020.

7 dari 8 halaman

5. Keberhasilan atlet 18 tahun membawa tim Lampung lolos Pon 2020 ini menjadi kebanggaan tersendiri baginya.

8 dari 8 halaman

6. Sutjiati Narendra juga berhasil mendapatkan dua medali emas di PON Papua 2021.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.